Bahkan ketika wajahmu tak berpaling melihatku kembali. Aku
sudah tak sanggup menunggu lebih lama lagi. Ada bagian dimana setiap jengkal
kenangan menjadi sakit yang luar biasa. “Sudah hapuskan saja!” Teriakku. Habis
sudah masaku, untuk tetap berdiri di tempat ini. Bersandar pada tiang besi sisi
jalan. Mengucap setiap kesal yang bisa terucap. Menyumpahi diri sendiri, begitu
bodohnya aku memilih jalan hidup begini. “kau bodoh Agnes, kau begitu bodoh!”
kemudian semua orang menatapku, aku hanya menunduk di tempat yang sama. Meneteskan
berjuta-juta air mata demi ragamu yang telah melukai. Laki-laki macam apa aku
ini?
Berpostur tinggi besar dan pincang. Aku pincang sejak SMA. Aku lebih menyukai berdandan dibanding bermain bola dan aku lebih suka bekel dibanding mobil-mobilan. Tuhan mengutukku. Tuhan mengutuk ibu bapakku. Tuhan tak menyayangiku, tidak pernah berada di pihakku. Apalagi saat aku mencintainya. Mencintai Mas Prayoga adalah hal yang terindah dalam hidupku. Namun sekarang dia sudah pergi. Ayahnya telah menjodohkannya dengan perempuan muda itu. “agnes, maafkan aku yang harus meninggalkanmu. Aku harus menikah dengan Yanti, gadis pilihan ayahku.” Aku tahu mas Prayoga menangis mengusap rambut pendekku, “aku mencintaimu Agnes,
tapi aku bisa apa. Ini semua kodrat yang harus kita jalani. Semoga kamu menemukan yang lebih baik dariku” mas prayoga memelukku erat, aku hanya bisa terisak. “persetan dengan kodrat mas, aku mencintaimu dan kamu juga. Lalu kenapa kamu harus begini? Aku tidak bisa hidup tanpamu.” Jawabku melepaskan pelukannya, melihat matanya yang berbinar membuat hatiku semakin teriris. “Agnes, aku mohon jangan siksa aku begini. Kita masih bisa bertemu nanti setelah aku menikah, aku bisa setiap minggu menjengukmu di rumah kita ini. Percaya aku Agnes sayang” katanya meyakinkanku. “aku tidak hanya ingin ragamu mas, aku juga ingin jiwa dan hatimu. Aku tidak pernah sudi kau jadi milik perempuan licik itu.” Agnes berlari menjauh dari Prayoga, berteriak, menangis. “lebih baik aku mati mas, lebih baik aku mati!” Aku berlari keluar rumah membawa diri dan rasa sesal dengan apa yang terjadi.
Berpostur tinggi besar dan pincang. Aku pincang sejak SMA. Aku lebih menyukai berdandan dibanding bermain bola dan aku lebih suka bekel dibanding mobil-mobilan. Tuhan mengutukku. Tuhan mengutuk ibu bapakku. Tuhan tak menyayangiku, tidak pernah berada di pihakku. Apalagi saat aku mencintainya. Mencintai Mas Prayoga adalah hal yang terindah dalam hidupku. Namun sekarang dia sudah pergi. Ayahnya telah menjodohkannya dengan perempuan muda itu. “agnes, maafkan aku yang harus meninggalkanmu. Aku harus menikah dengan Yanti, gadis pilihan ayahku.” Aku tahu mas Prayoga menangis mengusap rambut pendekku, “aku mencintaimu Agnes,
tapi aku bisa apa. Ini semua kodrat yang harus kita jalani. Semoga kamu menemukan yang lebih baik dariku” mas prayoga memelukku erat, aku hanya bisa terisak. “persetan dengan kodrat mas, aku mencintaimu dan kamu juga. Lalu kenapa kamu harus begini? Aku tidak bisa hidup tanpamu.” Jawabku melepaskan pelukannya, melihat matanya yang berbinar membuat hatiku semakin teriris. “Agnes, aku mohon jangan siksa aku begini. Kita masih bisa bertemu nanti setelah aku menikah, aku bisa setiap minggu menjengukmu di rumah kita ini. Percaya aku Agnes sayang” katanya meyakinkanku. “aku tidak hanya ingin ragamu mas, aku juga ingin jiwa dan hatimu. Aku tidak pernah sudi kau jadi milik perempuan licik itu.” Agnes berlari menjauh dari Prayoga, berteriak, menangis. “lebih baik aku mati mas, lebih baik aku mati!” Aku berlari keluar rumah membawa diri dan rasa sesal dengan apa yang terjadi.
Mas Prayoga itu munafik, tidak pernah berterus terang
atas apa yang dia rasakan. Dia mencintaiku tapi dia tidak bisa melawan kodrat
yang sudah Tuhan gariskan untuk kami. Aku harus apa? Tidakkah lebih baik aku
mati? Aku berlari menyusuri jalanan rumah kami. Tujuan utamaku bendungan di
ujung jalan itu. Aku akan melompat, menenggelamkan diri. Inginku enyah dari
pandangan dan pikiran Mas Prayoga. Sekali lagi aku tak sanggup hidup lebih lama
lagi tanpa Mas Prayoga disisiku. Aku tidak akan berhenti di tengah hanya untuk
menatap mas Prayoga yang berbalik menatapku, TIDAK. Aku akan terus berlari
kencang, melewati setiap frase kenangan yang sudah lima tahun ini aku lalui
bersamanya. Tuhan benarkan engkau sudah tidak menyayangiku? Jika aku mati saat
ini juga, hapuslah dosa untuk ibu bapakku, hapuskan segala kutukan yang melekat
pada mereka. Segala daya dan upaya aku ingin jangan Kau beri kebahagian untuk
Mas Prayoga, biarkan dia terus hidup dengan bayang-bayangku. Aku akan mati,
sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar