Minggu, 09 Maret 2014

Kutukan Tuhan

Bahkan ketika wajahmu tak berpaling melihatku kembali. Aku sudah tak sanggup menunggu lebih lama lagi. Ada bagian dimana setiap jengkal kenangan menjadi sakit yang luar biasa. “Sudah hapuskan saja!” Teriakku. Habis sudah masaku, untuk tetap berdiri di tempat ini. Bersandar pada tiang besi sisi jalan. Mengucap setiap kesal yang bisa terucap. Menyumpahi diri sendiri, begitu bodohnya aku memilih jalan hidup begini. “kau bodoh Agnes, kau begitu bodoh!” kemudian semua orang menatapku, aku hanya menunduk di tempat yang sama. Meneteskan berjuta-juta air mata demi ragamu yang telah melukai. Laki-laki macam apa aku ini?
Berpostur tinggi besar dan pincang. Aku pincang sejak SMA. Aku lebih menyukai berdandan dibanding bermain bola dan aku lebih suka bekel dibanding mobil-mobilan. Tuhan mengutukku. Tuhan mengutuk ibu bapakku. Tuhan tak menyayangiku, tidak pernah berada di pihakku. Apalagi saat aku mencintainya. Mencintai Mas Prayoga adalah hal yang terindah dalam hidupku. Namun sekarang dia sudah pergi. Ayahnya telah menjodohkannya dengan perempuan muda itu. “agnes, maafkan aku yang harus meninggalkanmu. Aku harus menikah dengan Yanti, gadis pilihan ayahku.” Aku tahu mas Prayoga menangis mengusap rambut pendekku, “aku mencintaimu Agnes, 
tapi aku bisa apa. Ini semua kodrat yang harus kita jalani. Semoga kamu menemukan yang lebih baik dariku” mas prayoga memelukku erat, aku hanya bisa terisak. “persetan dengan kodrat mas, aku mencintaimu dan kamu juga. Lalu kenapa kamu harus begini? Aku tidak bisa hidup tanpamu.” Jawabku melepaskan pelukannya, melihat matanya yang berbinar membuat hatiku semakin teriris. “Agnes, aku mohon jangan siksa aku begini. Kita masih bisa bertemu nanti setelah aku menikah, aku bisa setiap minggu menjengukmu di rumah kita ini. Percaya aku Agnes sayang” katanya meyakinkanku. “aku tidak hanya ingin ragamu mas, aku juga ingin jiwa dan hatimu. Aku tidak pernah sudi kau jadi milik perempuan licik itu.” Agnes berlari menjauh dari Prayoga, berteriak, menangis. “lebih baik aku mati mas, lebih baik aku mati!” Aku berlari keluar rumah membawa diri dan rasa sesal dengan apa yang terjadi.


Mas Prayoga itu munafik, tidak pernah berterus terang atas apa yang dia rasakan. Dia mencintaiku tapi dia tidak bisa melawan kodrat yang sudah Tuhan gariskan untuk kami. Aku harus apa? Tidakkah lebih baik aku mati? Aku berlari menyusuri jalanan rumah kami. Tujuan utamaku bendungan di ujung jalan itu. Aku akan melompat, menenggelamkan diri. Inginku enyah dari pandangan dan pikiran Mas Prayoga. Sekali lagi aku tak sanggup hidup lebih lama lagi tanpa Mas Prayoga disisiku. Aku tidak akan berhenti di tengah hanya untuk menatap mas Prayoga yang berbalik menatapku, TIDAK. Aku akan terus berlari kencang, melewati setiap frase kenangan yang sudah lima tahun ini aku lalui bersamanya. Tuhan benarkan engkau sudah tidak menyayangiku? Jika aku mati saat ini juga, hapuslah dosa untuk ibu bapakku, hapuskan segala kutukan yang melekat pada mereka. Segala daya dan upaya aku ingin jangan Kau beri kebahagian untuk Mas Prayoga, biarkan dia terus hidup dengan bayang-bayangku. Aku akan mati, sekarang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar