Kata seseorang yang membuat mata saya terbuka, “dulu saja waktu mahasiswa idealisnya sangat tinggi, berteriak-teriak menyuarakan suara rakyat. Tapi begitu sudah jadi pejabat, tidak kalah tenar jadi artis korupsi.” Menohok perasaan bukan bagi para mahasiswa yang notabene benar dalam masa peralihan dan mencari jati diri dimana selalu ingin bersikap idealis. Sehingga mereka melihat dari sudut pandang yang tak bisa mereka jangkau. Sekali lagi ketika mahasiswa mereka beridealis tinggi namun tak sedikit yang tuanya bermoral rendah mementingkan urusan perut mereka ketimbang yang lain. Mahasiswa adalah the power of change, itulah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan kami sekarang tapi tidak untuk 5-10 tahun mendatang. Kami bukan apa-apa kecuali sebagai penggerak dan action terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah dan kurir-kurir dalam kantor dan pebisnis yang lain. Tengok beberapa saat yang lalu, ketika mahasiswa yang benar-benar memiliki maksud baik berujung pada aksi anarkis. Kejadian 18 mei pada era orde baru Soeharto. Ingat betapa ambisi, kekuatan dan abal-abal masa muda merusak moral bangsa, Namun sekali lagi tak bisa dengan sepihak kita menyalahkan pihak-pihak tertentu. Karena berkat merekalah dan berkat pengorbanan kawan-kawan kita itulah, orde baru berguling menjadi era reformasi seperti sekarang.
Masih ingat dengan janji sumpah pemuda, bahwa kita harus berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Sudahkah kita berlaku seperti itu? Bagaimana ibu pertiwi tak menangis melihat anak-anak yang dididiknya dengan peluh dan keringat yang tak sedikit berbuat tak bijak. Berbuat anarkis dan tak lagi memandang baik buruknya keadaan. Dewasa ini tidak sedikit dari kita yang sudah tenar, kemudian memiliki kekuasaan, kematangan dan keberhasilan di luar sana, tidak mau kembali ke negeri ini. Seandainya saya jadi mereka pun mungkin saya akan melakukan hal yang sama. Toh buat apa kembali ke Indonesia, disini saya tak diberi jaminan kehidupan yang lebih layak, lebih baik berubah status kewarganegaraan saja. Kemungkinan-kemungkinan yang tidak pastilah serta peraturan dan kebijakan dari pemerintah yang kadang membuat orang-orang cerdas enggan bertahan lama di Indonesia. Bayangkan fasilitas apa saja yang mereka dapat tak sebanding dengan usaha dan kerja keras mereka. Para guru besar mengeluhkan biaya penelitian, para penemu mengeluhkan hak paten mereka yang tak kunjung didapat. Carut marut Negara ini, mana kepemilikian tanah air yang dibangga-banggakan.
Mana yang katanya gemah ripah loh jinawi tapi dirusak juga oleh rakyatnya sendiri. Mana kekayaan alam yang tak habis-habis dan tak bosan-bosannya dipandang, dicemari dan dirusak rakyatnya sendiri. “Ibu, inilah keadaan kami, maafkan kami yang tak bisa menjaga amanahmu. Harusnya kami tau ibu, semua ini salah dan harusnya kami menghindari perbuatan-perbuatan seperti ini bukan menikmatinya. Ibu jangan menangis, maafkanlah kami yang tak berguna dan bodoh ini. Kami hanya bisa menggunakan tanpa melestarikan, kami hanya sebagai konsumen bukan produsen dan kami hanya bisa menyalahkan bukan membuat perubahan.
Ibu harusnya kami lebih memberi sanksi tegas dan tak memberi ampun bagi mereka yang merusak kekayaan kita sekeluarga, Memasukkanya dalam penjara dengan hukuman seberat-beratnya dan denda berlipat-lipat bagi mucikarinya. Ibu harusnya kami kaya dari dulu, kalau kami tidak berhutang pada negeri tetangga. Sekarang uang kami habis untuk membayar hutang dan kami pun tak bisa menafkahi anak cucu kami. Hanya cukup seliter beras dan seikat sayur-sayuran yang kami ambil dari kebun yang kami punya. Maafkan kami ibu, harusnya saya membuat banyak kebijakan dalam keluarga ini yang meningkatkan kematangan keluarga terutama anak-anak. Memberi mereka waktu untuk saling bercerita, mendisiplinkan mereka dengan jam-jam belajar yang berguna bagi pendidikan mereka, harusnya saya begini dan begitu dan harusnya anakmu ini tau, mereka butuh penghormatan atas setiap jasa yang mereka torehkan, untuk anak cucu mereka yang mereka tinggalkan, dan apakah saya harus jadi seperti mereka dulu, gugur di medan perang, berkorban waktu, tenaga untuk Negara kita?
Masalah demi masalah yang datang belakangan ini membuat perasaan saya miris apalagi ketika mendengar ada kerusuhan lagi di Ambon. Bagaimana bisa beliau tak menangis, kita sesama bangsa Indonesia, kita sesama saudara sepersusuan, tapi kita saling baku hantam dan bunuh membunuh. Entah apa yang orang-orang itu pikirkan ketika mereka saling berkelahi hanya gara-gara masalah yang sepele. Mungkin masih ditelusur sampai sekarang, tapi yang perlu ditekankan adalah bagaimana bisa jika seorang umat beragama saling membunuh dan tak memegang sikap saling toleransinya. Permasalahan seperti ini sudah menyangkut masalah SARA dan secara perlahan akan mengancam keutuhan Negara Indonesia sebagai Negara persatuan yang kaya akan ragam budayanya.
Kalau saya boleh berpendapat beberapa dari kejadian itu setidaknya dapat dihindarkan jika beberapa dari salah satu pihak bahkan dua pihak tidak saling emosi dan memprovokasi satu sama lain. Membunuh atau kecelakaan itu adalah hasil dari penyelidikan polisi, bukan warga yang memutuskan dan bertindak hakim sendiri. Lalu bagaimana bisa kejadian ini dihubungkan dengan perbedaan agama? Isu yang beredar mengatakan terjadi penganiayaan tukang ojek muslim di daerah minoritas beragama Kristen. Seharusnya perlu dikaji lagi modus-modus penganiayaan tersebut. Pasti ada beberapa oknum yang memprovokatori masyarakat agar melakukan tindakan-tindakan keji itu. Cukup mengerti kemudian dari pemerintah sendiri, berilah beberapa ketegasan agar mereka tak semena-mena menganiaya kemudian ketegasan dari aparat penegak hukum supaya tidak ada lagi yang main hakim sendiri. Apapun yang menjadi modusnya, sebagai orang yang beragama dan percaya adanya Tuhan, menghilangkan satu nyawa adalah dosa hukumnya. Maka tidak ada salahnya, setiap agama yang dianut di masyarakat sekitar lebih menekankan ajaran agama yang kuat. Bahkan dalam dunia pendidikan di jenjang manapun hendaknya dimasukkan aspek-aspek toleransi beragama dan bernegara. Hal seperti ini setidaknya tidak berlaku di Ambon saja namun di seluruh Indonesia. Sekali lagi saya katakan, kita bangsa yang beragam budaya bukan hanya dari satu etnik dan satu budaya namun dari bermacam-macam yang hendaknya disatukan bukan dicerai berai seperti ini. Sepandai-pandainya pemerintah dan masyarakatnya menyadari keadaan itu dan menghindarinya.
Bukan munafik tapi saya merasa sedih jika sampai Kristen dan Islam itu berjihad masing-masing. Yaaah jihad biasanya yang menjadi alasan semua yang terjadi. Padahal jihad tidak seperti itu pengertiannya, bisakah dibayangkan bahwa Tuhan orang islam meminta kita umatNya untuk memerangi orang kafir. Kalau perlu juga dibunuh, tapi bukan itu caranya. Menurut pendapat pribadi saya, Tuhan meminta kita untuk membasmi orang kafir yang sudah menjelek-jelekkan dan mendzalimi agamanya. Bukan urusan sepele kemudian dengan mudahnya membunuh mereka *orang kafir. Pernahkah berfikir Tuhan selalu memberi keringanan bagi hambanya dan tidak membiarkan hambaNya dalam keadaan yang tidak baik. Dengan kejadian itu Tuhan memberi kita teguran, sedikit demi sedikit persatuan Indonesia mulai tergerus oleh perkembangan jaman. Tak memandang hukum Tuhan namun keegoisan yang dipengaruhi oleh hedonisme yang tak penting.
Marilah dengan sikap terbuka kita terima segala perbedaan yang ada di masyarakat. bukan mencerca dan bersikap melebihkan-lebihkan kelompoknya. Lapang untuk berbuat baik dan berfikir lebih dingin agar tercipta kedamaian serta keharmonisan dalam bermasyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar